Aku adalah seorang perawan
Tanpa bergelarkan bendoro
Aku telah menjadi seorang bangsawan
Tanpa selendang
Aku telah menjadi dewi
Setiap kataku adalah sabda
Sabda bagi sahaya-sahaya
Sabda bagi alam semesta
Tapi bumi pertiwi sedang diguncang
Sabda tak bermakna
Sepenggal puisi di atas adalah sepenggal karyaku. Aku adalah Ssiendira, seorang maestro, penulis puisi.
* * *
“Hahaha…, Ssiendira bukanlah maestro. Dia hanyalah seorang bocah pengemis miskin yang bermimpi menjadi maestro.”
“Diaam…!! Aku memang bukan maestro. Tapi siapa maestro?? Maestro tidak dipandang dari hartanya yang melimpah, tapi karena karyanya yang mampu membuat bulu kuduk merinding!”
Memang benar, aku bukanlah maestro. Dan orang miskin pun tak bisa jadi maestro. Mengapa kaya dan miskin harus dibedakan? Ini tidak adil. Ini semua membuatku bermimpi. Bermimpi indah, namun kenyataannya tak begitu.
Aku hanya Ssiendira. Seorang pengemis yang tinggal di kolong sungai code. Menyedihkan, memang hidupku. Setiap hari mengemis demi mencari sebungkus nasi. Menghidupi emakku dan Wandana, adik lelakiku satu-satunya. Tak pernah aku mempunyai kesempatan memegang buku pelajaran. Hanya pengalaman yang menyekolahkanku.
* * *
Hari ini matahari sangat terik. Entah sudah berapa jam kuhabiskan mengemis di perempatan kantor pos ini. Sedari-tadi banyak motor berlalu-lalang. Tapi duitku Rp 2500,00, makan apa emak dan Andan?
“Hei, Dira!”
“Ada apa, Ra?”
“Sudah berapa duit kau kumpulkan?”, Tanya Dara.
Dara, seorang anak buangan maestro penulis puisi Medan, yang sudah lebih dulu mengemis di sini. Sejak aku masih berumur 2 tahun, dia sudah mengemis dan sering sekali ia mengajakku. Dari dia juga, aku belajar mengemis. Dari dia pula aku belajar menulis, membaca, dan belajar bermimpi menjadi maestro.
“Baru Rp 2500,00”
“Hah??! Bagaimana pula? kau kalahkan aku.”
“Hahaha… muridmu mendahuluimu.”
“Hahaha… tak apalah, Kau ini.”
“Kau haus?”
“Hauslah. Ayoh, kita pergi beli minum.”
Kami duduk di dekat gerobak kaki
“Buat apa kau? Puisi barukah??”, Dara bertanya, namun tak kujawab.
“Masih tak bosan kau menulis puisi?”, aku menggeleng.
“Kau ingat ceritaku tentang ayahku sang maestro??”, aku mengangguk.
“Dan kau ingat ceritaku tentang betapa inginnya aku menjadi maestro, dulu?”, aku terdiam.
“Biar kuceritakan lagi.”, aku mengangguk.
”Ayahku, Wejangga, dahulu ia dikenal sebagai seorang maestro penulis puisi. Pada tahun pertamanya, ia berkeluarga dan dikuniai seorang anak, aku. Awalnya ia mengasihiku selayaknya seorang ayah, ia mengajariku menulis, membaca, serta mengerti sekelilingku. Ia siap akan seribu satu pertanyaan-pertanyaanku. Ia membuatku melihat dunia seperti ia melihat. Ia membuatku ingin menjadi maestro.”
Dara berhenti sesaat dan menatap mataku tajam. ”Lalu?”, kataku.
”Awalnya kupikir, maestro adalah segalanya. Sampai ketika ayah tak pernah mendampingiku, tak pernah lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Ia lebih mementingkan karirnya sebagai maestro, sang dewa penulis puisi. Ia mulai menghadiri acara-acara penting. Tampil di depan orang banyak, bahkan tak pulang ke rumah dengan alasan tak masuk akal, ia mabuk kepayang di atas karirnya.”
”Ayahku bukanlah dewa. Dia hanyalah keparat yang membuang keluarganya, anak-istrinya, membuangku. Di mana ia sekarang? Namanya telah mati ditelan jaman. Dilupakan sekitar. Dan ia baru mulai merasa kehilangan keluarganya. Mengajak kami tinggal bersama di istana barunya. Lebih baik aku tinggal di kali code ini. Aku tak butuh istana, tapi butuh seorang ayah. Melihat ayahku, membuat hasratku menjadi seorang maestro sirna tak berbekas. Hilang entah ke mana, biarlah, aku lelah.”
”Bagaimana bila aku berbeda dari ayahmu?”
“Sudahlah, hanya orang kaya yang bisa jadi maestro.”, tak ada jawaban.
“Lelah aku mengurusi orang macam kau. lengah sedikit, sudah bisu tak bicara. Hanya menulis tanpa lihat kanan-kiri.”, Dara pergi meninggalkanku sambil menggerutu.
Ahh, lagi-lagi aku begini. Tak jera-jera membuat kesal orang. Tentu saja Dara kesal, diajak bicara, aku tak menjawab. Memang salahku bermimpi jadi maestro, menulis puisi hanya membuat orang kesal dan pergi. Tapi tetap saja, mimpi itu tak mau pergi.
* * *
“Mak, apa benar hanya orang kaya yang bisa jadi maestro??”
“Hahh??! Maestro?? Apa itu??”
“Seorang penulis puisi terkenal.”
“Hahh??! Kau?? Jadi penulis puisi??”, aku mengangguk.
“Hei, kau itu anak miskin. Bisa makan saja sudah untung. Buat apa bermimpi??”, aku terdiam.
”Sudah. Tidur sana.”
”Kenapa kita bukan orang kaya?”, tanyaku pelan.
”Karena kamu anak pengemis.”, aku kembali terdiam.
”Sudah emak bilang, kita hanya orang miskin. Untuk apa punya mimpi? Hidup saja kita pas-pasan. Sudahlah.”
”Apa itu berarti aku tak bisa jadi maestro?”, emak telah terlelap di sampingku.
Aku mengerti maksud emak dan Dara. Aku tak akan mungkin jadi maestro. Tapi aku tak ingin mengerti. Aku ingin terlena dalam mimpiku. Mabuk kepayang seperti ayah Dara. Tapi aku tak akan lupa keluarga dan tempat tinggalku. Apa tak mungkin?
* * *
Siang ini tak kutemukan sosok Dara. Di mana ia? Tak biasanya ia tak mengemis. Aku jadi tak ada semangat mengemis. Coba aku cari ke gerobak kaki lima Bang Badri, mungkin saja Dara di sana.
“Bang Badri!”
“Dira, ada apa?”
“Mana Dara? Ia tak mengemis?”
“Ia sudah pulang kampung ke Jawa Timur.”
“Bukannya dia orang Medan?”
“Kata siapa?”
“Dara.”
“Dia itu dari Sidoarjo, Jawa Timur.”
“Hmm…, kapan dia balik lke sini? Kenapa dia pulang kampung?”
Bang Badri diam saja, lalu mengangkat bahunya.
“Bang, apa Dara pembohong?”, Bang Badri mengangkat bahunya lagi.
* * *
“Mak, kata Bang Badri, Dara pulang kampung. Dan katanya dia pulang ke Sidoarjo, bukan Medan.”
“Lalu?”
“Tapi Dara bilang padaku dia orang Medan.”
“Memang dia pulang ke mana?”
“Sidoarjo.”, emak terdiam.
“Apa kata-katanya tentang maestro juga bohong?”
”Aku tak tahu. Yang emak tahu, mana mungkin kau jadi..., apa namanya? Penulis puisi?”, aku tak menjawab.
”Ahh, itulah...”, emak terlelap.
Malam ini, kepalaku dipenuhi oleh kata-kata emak. Aku bingung. Aku tak akan bisa jadi maestro, tapi aku memimpikannya. Aku orang miskin, tapi aku ingin menulis puisi. Hhah, sekeliling menolak mimpiku. Emak, Dara, bahkan kolong kali code ini, membuktikan ketidakmampuanku.
Malam ini, hanya malam ini, aku ingin menjadi malam terakhirku bermimpi. Aku tak ingin lagi menjadi maestro, bila memang mimpiku ditolak. Hari ini, kutekan dalam-dalam impianku dan kubuka mataku. Benar kata emak, aku hanya anak miskin tak mungkin menjadi maestro.
”Aku berjanji. Aku tak akan bermimpi lagi, walau apapun yang terjadi.”
* * *
Tak terasa, tiga setengah bulan telah berlalu, maestro telah hilang dari benakku. Siang ini, seperti biasa aku mengemis di perempatan kantor pos. Dara tak pernah kembali dan tak pernah mengirim kabar. Buku tulis yang berisikan puisi-puisiku tak pernah kubuka lagi, tapi masih selalu ada di dalam tas kresek. Namun tak kusangka, buku itu nantinya kan kubuka lagi.
”Dira!!”
Aku menoleh mencari asal suara yang memanggilku. Suara ini sungguh kukenal. Logat Medan yang kental, namun sudah lama tak terdengar, Dara. Di mana ia? Kucari-cari sosok Dara. Aku berlari menyebrang ke arah kantor pos dan kutemukan sosok Dara.
”Dira, apa kabar?”
”Kenapa kau kembali?”
”Ada apa dengan kau? Sudah lama tak berjumpa, tapi kau ketus begitu. Apa salahku?”
”Banyak. Kau berbohong. Dari mana kau?”
”Pulang kampung.”
”Sidoarjo?”
”Iya.”
”Bukankah kau orang Medan? Kau bohong. Atau mungkin semua ceritamu hanya bohong belaka? Atau bahkan namamu juga bohongan?”
”Hei, tunggu. Aku memang pulang ke Sidoarjo, tapi aku lahir di Medan. Sekarang ayahku tinggal di Sidoarjo dan dia sakit keras. Ibuku sudah tak ada dan ayahku butuh seseorang untuk menemaninya. Aku anaknya, sudah sepatutnya aku menemani ayahku sendiri. Dan sekarang aku kembali ke sini. Untuk menanyai kabar sahabatku. Untuk tinggal kembali dan menemaninya. Salah?”, aku terdiam.
”Terserah kau, mau percaya atau tidak.”, kata Dara sambil kemudian berlalu.
”Jadi kau tak berbohong?”, tanyaku pelan.
”Untuk apa?”, Dara berhenti.
”Aku sudah tak pernah bermimpi lagi.”
”Baguslah.”
”Sungguh?”
”Kemarin, setelah 10 tahun tak bertemu, aku menemui ayahku. Ia sedang sakit, tangannya lumpuh.”
”Lalu?”, kataku pelan.
”Ia memintaku tinggal bersamanya.”
”Di Sidoarjo?”, Dara mengangguk.
”Kamu mau?”, Dara tak menjawab.
”Biar bagaimanapun ia ayahku.”
”Kalau begitu, tinggalah bersamanya.”
”Mungkin memang sudah saatnya aku berbakti.”
”Tapi ia yang sudah membuangmu?”
”Tidak. Akulah yang membuang diriku sendiri.”
”Bagaimana bisa?”
”Ia sudah menjelaskan semuanya. Ia bukanlah seperti yang aku kira. Dan salahlah untukku menghujatnya.”
”Tapi...”
”Bodohlah bagiku melupakan impianku menjadi seorang maestro, hanya karena kebodohanku menghujat ayahku sendiri.”
”Jadi...?”
”ya, jadilah maestro.”, Dara tersenyum.
”Aku tak bisa.”
”Kenapa?”, Dara tampak kaget.
”Walaupun aku masih bermimpi, aku sudah berjanji pada diriku sendiri.”
”Untuk?”
”Tidak bermimpi lagi.”, aku berlalu pergi.
Samar-samar, kudengar Dara berseru, ”Janji bodoh!!”
Aku berhenti dan membalikkan tubuhku. Kudekati Dara dengan langkah cepat. Kutantang Dara dengan mataku.
”Bodoh katamu?!”
”Ya, bodoh.”, jawab Dara tegas.
”Kamu yang membuatku berjanji. Kau yang bercerita tentang mimpi-mimpiku. Dan kau juga yang membunuh mimpiku dengan kata-kata ”hanya orang kaya”. Kau yang membuatku berjanji.”
”Bukan aku. Tapi kamu sendiri.”
”Aku??!”
”Ya. Aku memang berkata seperti itu, tapi itu tak berarti kau tak boleh mengimpikannya. Aku tak menghujat kau, tapi ayahku yang kuhujat.”, aku tak menjawab.
Mata kami saling beradu. Kami saling menantang lewat mata. Aku tak tahu mau bicara apa lagi. Aku sudah muak.
Tiba-tiba aku teringat akan karya-karyaku. kuambil bukuku dan kubuka. Kupandang Dara dan berkata, ”Terserah.”. dan kulempar buku itu ke arahnya. Namun buku itu jatuh ke trotoar tempat kami berpijak. Aku berbalik dan berlari pergi.
* * *
”Ayah.”, kata Dara.
”Ada apa?”
”aku mau tinggal di sini.”, ayah Dara tersenyum puas.
”Tapi dengan satu syarat.”, Kata Dara tegas.
”Apa itu?”
”Ini puisi-puisiku, bacalah. Kemudian tentukanlah, layakkah aku menjadi seorang maestro penulis puisi? Dan bila aku layak, buatlah puisi-puisiku dikenal orang.”
”Baik.”
* * *
Satu tahun telah berlalu, aku tetap mengemis di perempatan kantor pos ini. Maestro tak pernah ada lagi. Dara sudah tak kembali. Hari ini seperti biasa, aku beristirahat di dekat gerobak kaki lima Bang Badri.
”Dira, coba lihat ini!”
”Apa, bang?”
Kulihat buku bersampul hitam. Di atasnya tertulis ”MAESTRO”. Kuraih buku itu dari tangan Bang Badri dan mulai membukanya. Halaman satu ke halaman lainnya. Puisi-puisi yang kukenal baik.
”Ini puisiku!”
”Ya, kamu kirimkan ke mana?”
”Tak ada.”
”Coba lihat siapa pengarangnya.”
Sebuah nama yang kukenal baik tertulis di bagian bawah buku. Dara, sahabatku dulu.
”Dara.”
Kubuka lagi buku itu, kutemukan sebuah halaman yang menarik perhatianku. Halaman 2, bagian kata pengantar. Isinya berbunyi begini.
”Untuk Dira, sahabatku. Lihatlah buah karyamu. Buah karya seorang Maestro.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar